Nasional ,(parlemenbanten.com) –Hari Raya Idul Fitri tahun ini berpotensi terjadi perbedaan. Muhammadiyah telah mengumumkan Idul Fitri jatuh pada 21 April 2023. Sedangkan pemerintah diperkirakan akan menetapkan awal bulan Syawal 1444 H pada tanggal 22 April 2023. Menurut Prof. Thomas Djamaluddin, peneliti Astronomi dan Astrofisika Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), perbedaan tersebut disebabkan kriteria yang digunakan. Muhammadiyah menggunakan kriteria wujudul hilal sedangkan pemerintah dan beberapa ormas keagamaan seperti Nahdlatul Ulama, saat ini telah menggunakan kriteria imkan rukyat neo-MABIMS (Menteri Agama Brunei, Indonesia, Malaysia dan Singapura).
Secara sederhana untuk memahami kedua kriteria tersebut dalam menetapkan awal bulan baru, yaitu jika menggunakan kriteria wujudul hilal apabila posisi hilal sudah positif di atas ufuk berapa pun tingginya maka telah memasuki awal bulan Hijriah.
Sedangkan kriteria imkan rukyat neo-MABIMS memberikan syarat batas minimal ketinggian hilal di atas ufuk adalah 3 derajat dan sudut elongasi 6,4 derajat (3-6,4). Dalam implementasinya kedua kriteria tersebut adakalanya terjadi perbedaan dalam penentuan awal bulan Qamariyah, seperti yang pernah terjadi pada Ramadhan 1443 H/2022 termasuk juga diperkirakan kembali terjadi perbedaan pada penetapan Idul Fitri tahun ini.
Sebenarnya upaya untuk mencari titik temu kesamaan di antara perbedaan metode dan kriteria yang digunakan terus diupayakan, baik oleh kalangan ormas Islam sendiri maupun peran serta dari setiap era kepemerintahan. Majelis Ulama Indonesia sejak tahun 2004 telah mengeluarkan Fatwa MUI No. 2/2004 sebagai upaya untuk menyatukan kriteria yang ada.
Pada tahun 2007 upaya dari pemerintah melalui wakil presiden Jusuf Kalla, juga turut berkomunikasi dan mempertemukan para ketua umum kedua ormas terbesar di Indonesia yaitu Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah untuk membicarakan mengenai penetapan hari raya Idul Fitri. Inisiatif tersebut juga terus dilanjutkan oleh Lukman Hakim selaku Menteri Agama (2014-2019) untuk mendialogkan kembali persoalan ini dengan para ormas Islam di Indonesia.
Usaha-usaha tersebut menunjukkan upaya serius untuk saling mencari jalan tengah dalam mewujudkan kemaslahatan di tengah-tengah umat. Masing-masing ormas Islam juga memiliki kesamaan ikhtiar menuju jalan yang demikian. Meskipun semuanya tentu membutuhkan proses yang panjang dan kerendahan hati. Dialog dengan mengedepankan nilai-nilai toleransi akan semakin memudahkan untuk mengupayakan terwujudnya tujuan yang sama. Mengenai kemungkinan perbedaan yang akan terjadi dalam penetapan Idul Fitri tahun ini, Kementerian Agama juga turut mengajak umat untuk semakin bijaksana dalam menerima perbedaan yang ada, karena pada dasarnya hal tersebut merupakan wujud implementasi atas sikap moderasi beragama.
Tentunya usaha membangun semangat moderasi dan toleransi perlu kita junjung bersama-sama, namun upaya membangun dialektika ilmiah juga perlu terus diupayakan, agar ikhtiar penyatuan penentuan awal bulan bisa diwujudkan.
Meskipun tidak pernah lepas dari adanya silang pendapat, bahkan tidak jarang saling mengkritik terhadap masing-masing kriteria yang digunakan, adalah suatu hal yang lumrah dalam ranah keilmuan. Indonesia telah tumbuh sebagai bangsa yang penuh kearifan, adanya perbedaan penetapan Hari Raya Idul Fitri semakin menyadarkan pentingnya menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi, sehingga dialektika ilmiah bisa terus berjalan menuju kesatuan demi maslahat keumatan.
(Ad/red)